Pasar keuangan Indonesia mencatatkan kinerja positif seiring dengan penurunan inflasi di Amerika Serikat (AS) dan perbaikan data ekonomi domestik. Menurut data dari Refinitiv, pada perdagangan kemarin, Rabu (15/11/2023), nilai tukar rupiah menguat dan ditutup di level Rp15.530/US$ atau mengalami kenaikan sebesar 1,02%.
Penguatan ini dipicu oleh sentimen global dari AS yang mencatatkan penurunan inflasi menjadi 3,2% secara tahunan (yoy) pada Oktober 2023, dibandingkan dengan 3,7% yoy pada September 2023. Selain itu, sentimen positif juga berasal dari surplus neraca perdagangan Indonesia pada Oktober 2023 sebesar US$3,48 miliar, yang lebih tinggi dibandingkan dengan surplus September 2023 sebesar US$3,41 miliar.
Surplus tersebut didorong oleh peningkatan ekspor batu bara dan baja. Keberhasilan mencatat surplus ini diharapkan dapat mengurangi defisit dan mengembalikan transaksi berjalan ke arah surplus di masa mendatang.
Meskipun nilai impor Indonesia mengalami kenaikan sebesar 7,68% secara bulanan pada Oktober 2023 menjadi US$18,67 miliar, nilai ekspor juga mengalami peningkatan sebesar 6,76% secara bulanan. Namun, nilai ekspor turun sebesar 10,3% secara tahunan pada periode yang sama menjadi US$22,15 miliar.
Terlihat juga adanya aliran modal masuk dari pasar obligasi Indonesia, tercermin dari penurunan imbal hasil Surat Berharga Negara (SBN) tenor 10 tahun sebesar 2,10% ke level 6,8% pada perdagangan Rabu (15/11/2023).
Dari segi teknis, rupiah kini mengalami tren penguatan, dengan level support terdekat atau target penguatan dalam jangka pendek berada di posisi Rp15.490/US$. Di sisi lain, pelaku pasar diharapkan memperhatikan area resistance di sekitar Rp15.560/US$ sebagai antisipasi terjadinya pembalikan melemah, sesuai dengan garis rata-rata selama 20 jam atau moving average 20 (MA20).