Rupiah menunjukkan kekuatannya terhadap dolar Amerika Serikat (AS) sepanjang pekan ini, melanjutkan tren positif dari pekan sebelumnya berkat membaiknya sentimen pasar global dan domestik. Berdasarkan data dari Refinitiv, rupiah menguat sebesar 0,58% secara point-to-point (ptp) terhadap dolar AS pekan ini, memperpanjang penguatannya dari pekan lalu.
Sentimen pasar yang positif baik global maupun dalam negeri menjadi pendorong stabilitas rupiah pekan ini. Meskipun demikian, rupiah masih belum mampu mendekati level psikologis Rp 16.000/US$.
Salah satu faktor yang mendukung penguatan rupiah pada akhir pekan ini adalah peningkatan cadangan devisa (cadev) Indonesia pada bulan Juni lalu. Bank Indonesia (BI) melaporkan cadangan devisa Indonesia pada Juni mencapai US$ 140,2 miliar, naik sebesar US$ 1,2 miliar.
Asisten Gubernur BI Erwin Haryono mengatakan bahwa peningkatan cadangan devisa ini dipengaruhi oleh penerimaan pajak dan jasa serta penarikan pinjaman luar negeri pemerintah, di tengah kebutuhan untuk stabilisasi nilai tukar rupiah seiring tingginya ketidakpastian pasar keuangan global.
“Posisi cadangan devisa pada akhir Juni 2024 setara dengan pembiayaan 6,3 bulan impor atau 6,1 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri pemerintah, serta berada di atas standar kecukupan internasional sekitar 3 bulan impor,” kata Erwin, Jumat (5/7/2024).
BI menilai bahwa cadangan devisa yang memadai dapat mendukung ketahanan sektor eksternal serta menjaga stabilitas makroekonomi dan sistem keuangan. Hal ini disambut positif oleh pelaku pasar karena dengan besarnya cadangan devisa, tekanan terhadap rupiah dapat diredam atau distabilkan.
Pada pekan ini, data ekonomi dan tenaga kerja Amerika Serikat (AS) yang mulai mendingin serta optimisme pasar global terkait kemungkinan penurunan suku bunga oleh bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) juga membantu stabilitas rupiah.
Dalam risalah pertemuan The Fed edisi Juni, disebutkan bahwa perekonomian AS tampaknya melambat dan “tekanan harga berkurang”, namun mereka masih menyarankan pendekatan wait and see sebelum melakukan penurunan suku bunga. The Fed masih memerlukan lebih banyak data sebelum memangkas suku bunga untuk memastikan bahwa inflasi yang lebih lemah baru-baru ini memberikan gambaran yang akurat tentang apa yang terjadi pada tekanan harga.
“Kami hanya ingin memastikan bahwa tingkat yang kami lihat adalah gambaran yang sebenarnya tentang apa yang terjadi dengan inflasi,” kata Ketua The Fed, Jerome Powell, pada konferensi kebijakan moneter di Portugal yang disponsori oleh Bank Sentral Eropa.
Meski begitu, pelaku pasar global semakin yakin bahwa The Fed dapat memangkas suku bunga acuannya sebanyak dua kali pada tahun ini. Menurut data perangkat FedWatch, pemangkasan pertama diperkirakan terjadi pada pertemuan September sebesar 25 basis poin menjadi 5,00% – 5,25%, dengan peluang sebesar 59,9%. Kemudian pada pertemuan Desember, diperkirakan akan terjadi pemangkasan suku bunga sekali lagi sebesar 25 basis poin ke 4,75% – 5,00%.