Menagih Utang Melalui Media Sosial, Apakah Bisa Mencemarkan Nama Baik?
Saat utang tidak kunjung dilunasi, muncul pertanyaan apakah cara menagih utang melalui media sosial, seperti Instagram Story (InstaStory), dapat dianggap sebagai pencemaran nama baik? Hal ini menjadi topik diskusi , dimana pembaca mengirim pertanyaan terkait status InstaStory yang menyoroti utang sebesar Rp 34 juta.
InstaStory tersebut berisi pernyataan tegas, “Jangan nentang aku. Aku orangnya semakin ditentang, semakin semangat. Jangan minta disabarin terus. Uangku Rp 34 juta itu nggak sedikit. Tapi kalau mau kamu diproses, oke kita turutin. Kenyang sudah aku makan janjimu!”
Dalam menanggapi pertanyaan tersebut, pandangan dari advokat Destiya Nursahar SH. Menurutnya, persoalan utang piutang berada dalam ranah hukum perdata. Ketika pihak yang berutang tidak memenuhi kewajibannya sesuai perjanjian, ini dapat dianggap sebagai wanprestasi, dan pemberi utang memiliki hak untuk menuntut ganti rugi.
Pemberi utang memiliki beberapa opsi untuk menagih utang, dan salah satunya adalah melalui media sosial. Namun, apakah hal tersebut berpotensi mencemarkan nama baik?
Pencemaran nama baik dalam konteks hukum diatur dalam KUHP Pasal 433, yang mengancam hukuman penjara maksimal 9 bulan dan denda Rp 4,5 juta bagi mereka yang menyerang kehormatan atau nama baik orang lain secara lisan agar diketahui umum.
Destiya Nursahar menekankan bahwa menagih utang melalui media sosial tidak secara otomatis dianggap sebagai pelanggaran UU ITE Pasal 27 ayat 3, selama kontennya merupakan fakta atau kenyataan. Namun, jika konten tersebut mengandung penghinaan, seperti makian atau kata-kata kasar, pelaku dapat dijerat dengan pasal Penghinaan Ringan berdasarkan KUHP pasal 315.
Perlu diperhatikan bahwa tambahan Pasal 27A dalam UU ITE terbaru No 1 Tahun 2024 menyatakan bahwa menyerang kehormatan atau nama baik orang lain melalui informasi/dokumen elektronik merupakan pelanggaran. Oleh karena itu, menagih utang di media sosial harus dilakukan dengan hati-hati agar tidak melanggar ketentuan hukum yang berlaku.
Selain risiko pidana, pemberi utang juga perlu menyadari bahwa penagihan utang di media sosial dapat menyebabkan pembatalan perjanjian utang piutang secara hukum. Hal ini berarti, meskipun utang belum terbayar, pihak yang berutang tidak lagi memiliki kewajiban untuk melunasi utangnya.
Referensi:
- UU ITE No.11/2008, UU No.19/2016, dan UU No.1/2024
- Surat Keputusan Bersama UU ITE No.229/2021, No.154/2021, No.KB/2/VI/2021.
(Artikel ini bersifat informatif dan bukan merupakan opini hukum yang dapat digunakan dalam konteks pengadilan.)