Indonesia menghadapi risiko gangguan pada ketahanan pangan, demikian disampaikan oleh Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), Dwikorita. Dalam pertemuan dengan Komisi V DPR RI, beliau menyebutkan bahwa kerentanan ketahanan pangan dipicu oleh kekurangan air yang disebabkan oleh kenaikan suhu permukaan Bumi. Kenaikan suhu ini terus terjadi, terutama sepanjang tahun 2023 yang mencatatkan rekor suhu tertinggi pada bulan Juli.
Kenaikan suhu global merupakan hasil dari pertumbuhan industri sejak tahun 1850-an, dan tren ini terus meningkat hingga tahun 2023. Dwikorita mencatat bahwa 8 tahun terakhir merupakan periode terpanas dalam sejarah, dengan peningkatan suhu sekitar 1,2 derajat Celsius dibandingkan sebelum revolusi industri.
Meskipun demikian, Dwikorita menekankan bahwa Indonesia belum mengalami kenaikan suhu yang signifikan karena luas laut yang lebih besar daripada luas daratan, berperan sebagai pendingin alami. Namun, dampak dari kenaikan suhu global menyebabkan kekeringan global atau global water hotspot yang diperkirakan akan berlangsung beberapa waktu ke depan.
Dalam proyeksi BMKG, kekurangan air ini berpotensi meningkatkan kerentanan ketahanan pangan di Indonesia, di mana negara ini diprediksi akan masuk dalam kategori menengah (orange) pada indikator ketahanan pangan sekitar tahun 2050. Dwikorita juga mencatat bahwa kekeringan yang dialami oleh negara-negara produsen pangan dapat menyulitkan impor pangan oleh Indonesia.
Dalam konteks perubahan iklim, Dwikorita mengungkapkan hasil pantauan BMKG yang menunjukkan lonjakan suhu Bumi karena peningkatan konsentrasi CO2 di GAW Kototabang. Peningkatan ini terjadi meskipun wilayah tersebut terletak di tengah hutan dan bebas dari polusi. Dengan konsentrasi CO2 yang meningkat, BMKG memproyeksikan adanya selubung gas rumah kaca di atmosfer yang dapat menghambat radiasi Matahari dan berdampak pada cuaca ekstrem, termasuk kemungkinan punahnya es di puncak Jayawijaya pada tahun 2025.
Untuk menghadapi tantangan ini, Dwikorita menyampaikan bahwa BMKG melakukan pelatihan adaptasi perubahan iklim, meningkatkan literasi iklim masyarakat, dan memperluas penerapan transformasi energi dari fosil ke nonfosil.