Rupiah mengalami pelemahan terhadap dolar Amerika Serikat (AS) di tengah ketidakpastian pelaku pasar yang menanti hasil pertemuan bank sentral AS (The Fed) pada Kamis dini hari mendatang. Menurut data dari Refinitiv, rupiah dibuka menguat pada level Rp15.785/US$ atau melemah sekitar 0,05%, namun dalam waktu kurang dari dua menit, nilai tukar rupiah kembali turun ke level Rp15.800/US$. Pelemahan ini mengakhiri tren penguatan selama tiga hari berturut-turut sejak 26 Januari 2024.
Sementara itu, indeks dolar AS (DXY) pada pukul 8.46 WIB mengalami kenaikan tipis sebesar 0,03%, mencapai angka 103,43. Angka ini sedikit lebih tinggi dibandingkan dengan penutupan perdagangan sehari sebelumnya, yang berada pada angka 103,39.
Pada hari Selasa (30/1/2024), International Monetary Fund (IMF) merilis outlook terbaru berjudul “Moderating Inflation and Steady Growth Open Path to Soft Landing.” Dalam outlook terbarunya, IMF menyatakan bahwa perekonomian global akan mengalami ‘soft landing’ pada tahun 2024. IMF juga menaikkan proyeksi pertumbuhan ekonomi global, dengan meningkatkan harapan untuk Amerika Serikat dan China sebagai dua ekonomi terbesar di dunia. IMF juga mencatat penurunan inflasi yang lebih cepat dari perkiraan.
Menurut World Economic Outlook (WEO) terbaru, pertumbuhan ekonomi global tahun ini diperkirakan berada di kisaran 3,1%, naik 0,2 poin persentase dari proyeksi Oktober. Pertumbuhan global untuk tahun 2025 tetap tidak berubah, yaitu sekitar 3,2%.
Sementara itu, ekonomi Indonesia masih diharapkan tumbuh sebesar 5% pada tahun 2024 dan 2025. Hal ini dianggap positif karena inflasi terus melandai dan pertumbuhan ekonomi diperkirakan berjalan baik.
Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo juga menyatakan optimisme bahwa rupiah akan menguat di masa mendatang, khususnya pada semester II-2024. Perry mengungkapkan keyakinan bahwa nilai tukar rupiah akan tetap stabil dan cenderung menguat, didukung oleh meredanya ketidakpastian pasar keuangan global. BI juga siap melakukan intervensi jika diperlukan untuk menjaga stabilitas nilai tukar akibat sentimen global, sambil tetap efektif dalam strategi operasi moneter yang bersifat pro pasar.
Meskipun demikian, pasar masih menantikan hasil keputusan The Fed terkait suku bunganya dan pernyataan chairman The Fed Jerome Powell mengenai kebijakan ke depan. Kepentingan ini muncul karena jika The Fed memutuskan untuk melakukan pemangkasan suku bunga dalam jumlah signifikan, tekanan terhadap mata uang Rupiah diharapkan akan berkurang, dan akibatnya, rupiah dapat menguat terhadap dolar AS.