Tragedi Penggusuran Paksa Pulau Rempang

Tragedi Pelanggaran Berat HAM di Pulau Rempang
Beberapa hari terakhir, media telah memenuhi berita tentang insiden penggusuran paksa warga di Pulau Rempang, Batam, Kepulauan Riau. Insiden ini menjadi perhatian publik setelah terjadi bentrokan pada Kamis (7/9/2023) antara aparat kepolisian, TNI, dan Satpol PP dengan warga setempat yang menolak digusur dari tempat tinggal mereka.

Bentrokan itu berujung pada penggunaan gas air mata untuk memaksa warga pindah. Sayangnya, bentrokan tidak dapat dihindari, dan dilaporkan ada 11 korban yang dilarikan ke rumah sakit, termasuk 10 siswa dan seorang guru. Konflik ini terus berlanjut hingga saat ini, dengan warga terus melakukan perlawanan terhadap BP Batam, mengakibatkan enam orang lainnya mengalami luka-luka.

Masyarakat Pulau Rempang dan Galang, yang terdampak proyek Eco-City dan tergabung dalam wadah Kerabat Masyarakat Adat Tempatan (KERAMAT), tetap gigih menolak direlokasi. Mereka berpendapat bahwa mereka telah mendiami pulau tersebut secara turun temurun sejak tahun 1834, jauh sebelum Indonesia merdeka. Selain itu, mereka mendesak aparat untuk menghentikan intimidasi terhadap mereka dan mengakui hak kepemilikan tanah ulayat mereka.

Dalam konteks HAM, kasus penggusuran paksa di Pulau Rempang dianggap sebagai pelanggaran HAM berat dengan berbagai dasar yang diberikan.

Pertama, mengacu pada Basic Principles and Guidelines on Development-Based Eviction and Displacement A/HRC/18 dari Dewan HAM PBB (2009), penggusuran paksa dianggap sebagai pelanggaran HAM berat yang mencakup hak asasi manusia seperti perumahan layak, makanan, air, kesehatan, pendidikan, pekerjaan, keamanan individu, keamanan tempat tinggal, kebebasan dari perlakuan kejam, tidak manusiawi, dan merendahkan martabat manusia, serta kebebasan bergerak.

Kedua, Fact Sheet No. 25/Rev.1 yang dikeluarkan oleh PBB pada 2014 tentang Penggusuran Paksa (Forced Evictions) menyatakan bahwa penggusuran paksa melanggar hak-hak sipil, budaya, ekonomi, politik, dan sosial yang dijamin dalam instrumen internasional.

Ketiga, menurut Undang-undang No. 26/2000 tentang Pengadilan HAM, penggusuran paksa warga Pulau Rempang untuk proyek Eco-City dapat dikategorikan sebagai kejahatan genosida (Pasal 8 ayat e) dan kejahatan terhadap kemanusiaan (Pasal 9 ayat d) karena melibatkan pemindahan dan pengusiran paksa kelompok penduduk asli Melayu, Orang Laut, dan suku lain yang telah mendiami kawasan tersebut sejak dulu.

Negara memiliki tanggung jawab yang besar dalam konteks ini. Prinsip-prinsip dasar HAM internasional mengharuskan negara untuk menyediakan penyelesaian hukum yang efektif bagi individu yang merasa hak-hak mereka terkait dengan penggusuran paksa dilanggar atau terancam dilanggar.

Negara juga harus menghindari langkah-langkah yang bersifat retroaktif terkait dengan perlindungan terhadap penggusuran paksa dan mengakui larangan penggusuran paksa yang dapat mengubah komposisi etnis, agama, atau ras dari populasi yang terkena dampak.

Penggusuran paksa hanya boleh terjadi dalam keadaan luar biasa dan harus dilakukan sesuai dengan hukum HAM internasional serta aturan lokal yang sesuai dengan standar HAM.

Penggusuran paksa di Pulau Rempang, jika memang harus dilakukan, harus didasarkan pada undang-undang dan hanya untuk memajukan kesejahteraan umum bagi warga Pulau Rempang. Pemerintah juga harus memastikan adanya kesepakatan kompensasi dan rehabilitasi yang adil sebelum melakukan penggusuran.

Selain itu, pelaksanaan penggusuran paksa harus menghormati hak asasi manusia, khususnya hak atas kehidupan dan keamanan. Perempuan dan anak-anak harus dilindungi dari kekerasan dan diskriminasi selama penggusuran. Setiap tindakan paksa yang dibenarkan hukum harus mematuhi prinsip proporsionalitas dan kebutuhan serta mengikuti prinsip-prinsip tentang penggunaan senjata api oleh penegak hukum.

Penggusuran tidak boleh dilakukan dalam kondisi cuaca buruk, pada malam hari, selama hari raya atau hari libur keagamaan, sebelum pemilihan umum, atau selama ujian sekolah anak-anak.

Terakhir, jika penggusuran telah dilakukan sesuai dengan panduan HAM PBB, maka perumahan yang baru harus memenuhi standar internasional untuk menjadi tempat tinggal yang layak huni. Ini termasuk layanan, infrastruktur, keamanan kepemilikan, aksesibilitas bagi kelompok disabilitas, dan pemulihan dan perawatan kesehatan bagi mereka yang terkena dampak penggusuran.

Ketidakpatuhan terhadap standar internasional ini dalam penggusuran paksa dapat membuat negara menjadi musuh bersama masyarakat internasional. (***)

*Ditulis oleh Prof. Dr. Hafid Abbas, Ketua Komnas HAM RI ke-8 (2012-2017) dan Wakil Rektor Universitas Negeri Jakarta (UNJ) 1997-1999.*

You might also like
Tags:

More Similar Posts

Menu